Ibu Menentukan Nasib Bangsa
Oleh : Anang Anas Azhar
Bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai peran ibu. Hampir semua negara di dunia ini menempatkan satu hari, khusus untuk hari ibu. Ada yang menempatkan hari ibu sebagai hari peringatan nasional, bahkan ada juga negara yang memberikan
like spesialis untuk ibu, sebagai bentuk penghargaan dari ibu.
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ibu diartikan, wanita yang telah melahirkan seseorang, panggilan takzim kepada wanita yang baik dan telah bersuami maupun yang belum. Bahkan, ibu juga dimaknai sebagai kata yang terpenting dan utama dalam hidup ini.
Dalam catatan kalender Indonesia, Hari Ibu diperingati setiap 22 Desember dan
ditetapkan sebagai perayaan nasional. Berbeda dengan negara-negara di luar negeri, sebagian negara di sana seperti Kanada, Amerika, Australia, , Jerman, Italia, Jepang,
Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong, Hari Ibu (Mother’s Day)
dirayakan pada minggu kedua di bulan Mei. Ini artinya, secara psikologi ibu merupakan sosok yang melekat dan dekat dalam kehidupan seseorang. Saking dekatnya, kedekatan ibu jauh lebih dekat, jika dibanding dengan seorang ayah atau bapak.
Kenapa peran ibu lebih besar jika dibanding peran ayah? Ibu adalah pekerja utama dalam hidup berkeluarga. Ibu bekerja tanpa pamrih, bahkan kerja-kerja dalam rumah tangga jika tidak dikerjakan ibu bisa berantakan. banyak Pertanyaan mendasar yang kita lontarkan adalah, apakah pantas ibu yang kita mengandung selama sembilan
bulan, menyusui dan menyampih selama dua tahun, serta menjaga kita hingga dewasa, hanya diberikan satu hari saja bagi mereka. Ini jelas tak pantas, karena itulah peran ibu sangat besar dalam hidup ini.
Nasib Bangsa Peran ibu dalam menentukan nasib bangsa tak terlepas dari dorongan psikologis.Nasib bangsa terkadang dipertaruhkan melalui peran ibu. Meski perannya tidak nampak di permukaan, tetap secara psikologis sangat menentukan seorang laki-laki untuk menjalankan tugasnya. Apakah tugas yang berkaitan dengan pribadi atau kenegaraan. Perannya tidak nampak, namun sangat menentukan masa depan sebuah bangsa.
Kisah-kisah literatur sejarah, juga telah membuktikan bahwa peran ibu merupakan
modal awal seorang laki-laki untuk mendukung kerjanya. Rasulullah SAW sendiri, ketika di awal pengembangan dakwahnya tak terlepas dari dukungan sang istri, Siti
Khadijah. Istri Rasulullah ini, benar-benar mendukung kerja mulia sang Rasulul.
Bahkan, karena Siti Khadijah memiliki rezki yang berlebih, dirinya pun
menginfakkan hartanya untuk perjuangan sang suami. Khadijah juga ikut memberikan
sokongan kepada Rasulullah saat menjalankan misi mulia mengembangkan ajaran
Islam di tengah kekerasan suku quraisy.
Sekitar 3.000 tahun silam juga, Nabi Ibrahim tak berdaya ketika tidak memiliki anak.
Bahkan istri tercintanya sendiri, menyuruh Ibrahim untuk menikah kembali dengan
wanita lain, dan akhirnya Ibrahim memiliki dua anak, dari istri pertama dan istri
- kedua. Istri pertama, Ibrahim dikarunia Allah berupa anak bernama Ismail, kemudian
istri kedua, Allah SWT memberikan anak bernama Ishaq. Semangat Ibrahim pun
terpancar dalam hidupnya ketika sudah dikarunia anak. Kata yang pantas dipetik dari
pernikahan Ibrahim itu adalah, sang istri menyuruh Ibrahim menikahi wanita lain
untuk dapat keturunan. Betapa mulianya istri pertama Ibrahim, sampai-sampai
istrinya menyuruh Ibrahim menikah kembali, hanya gara-gara faktor keturunan.
Dalam konteks keindonesiaan, Indonesia merdeka tak terlepas dari peran serta ibu.
Tokoh dari Aceh Cut Nyak Din, Istri Soekarno dan lainnya, adalah bentuk nyata
betapa peran ibu sangat penting dalam mendorong kemerdekaan Indonesia. Bahkan,
Presiden SBY sekalipun, membutuhkan peran sang ibu dalam menjalankan
pemerintahan di negara ini.
Mengurai peran Ibu di atas, munculnya hari Ibu memang sudah pantas. Bukankah kita
seharusnya memberikan perhatian lebih dari apa yang diberikan kepadanya?
Kanyataan pada hari ini, banyak ayah bahkan anak yang menganggap ibu hanya
tempat mengadu jika ada masalah, namun peran ibu sebagai teman, sebagai wanita
yang harus kita sayangi dan kagumi terlupakan. Hari-hari dihabiskan dengan kegiatan
kerja, kampus atau pun sekolah, sehingga waktu bersama ibu sangat sedikit
diluangkan. Kita lupa bahwa ibu menginginkan perhatian dari anaknya, betapa
sedihnya ia kalau kita hanya memberikan perhatian kepadanya satu hari di
penghujung tahun.
Semua ibu pasti berharap yang terbaik adalah untuk anaknya. Apapun dilakukan demi
terpenuhinya kebutuhan dan keperluan si buah hati. Terkadang ibu sering dipusingkan
dengan permintaan si anak yang bermacam-macam, meminta mainan setiap kali pergi
ke pasar, minta di belikan ini, itu dan sebagainya. Dari kecil sampai dewasa
permintaan demi permintaan sering kali kita ajukan kepada ibu, bahkan ada yang
tidak mau tahu, apakah ibunya punya uang atau tidak, yang terpenting kebutuhannya
harus dipenuhi oleh ibu.
Rasulullah pernah bersabda : “Siapakah orang yang berhak kulayani dan
kuperlakukan dengan baik ya Rasulullah? Nabi saw menjawab: Ibumu. Sahabat pun
kemudian bertanya lagi: Siapa lagi ya Rasulullah? Nabi pun memberikan jawaban
yang sama: Ibumu, Ibumu, sampai tiga kali. Barulah pertanyaan yang keempat
Rasullulah menjawab: Ayahmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Begitu mulianya sang ibu dalam hidup kita, sampai-sampai Rasulullah benar-benar
menyuruh umatnya untuk berbuat baik kepada ibu, karena surga itu terletak di bawah
telapak kaki ibu. Bertahun-tahun ibu menghabiskan waktunya untuk membesarkan
anak-anaknya, hingga mereka menjadi orang-orang yang sukses. Sampai saatnya
ketika anak tersebut menikah dan mempunyai istri atau suami, mereka pun pindah
rumah dan meninggalkan ibunya. Alasan yang sering dikemukakan adalah karena
pekerjaan.
Tak terlepas dari itu, peran sang ibu mempersiapkan generasi bangsa ini sangat besar.
Terlebih dalam mencetak generasi mandiri dan cerdas dalam sebuah negara.
Karenanya, ibu merupakan nasib penentu sebuah negara, ibu merupakan tolak ukur
maju mundurnya sebuah bangsa. Untuk itu, melalui peringatan Hari Ibu 22 Desember2015 ini, kita sudah selayaknya menghormati ibu sebagai penyangga sebuah bangsa.
Penulis Adalah Dosen Fisipol UMSU dan Kandidat Doktor Komunikasi Islam Pascasarjana UIN Sumut