Melikuidasi Daerah Otonom Bangkrut

 

aanang anas azhar

Oleh : Anang Anas Azhar

 

Dalam satu dasa warsa terakhir (1999-2009), Indonesia sukses mengukir prestasi memekarkan daerah otonom baru terbanyak di dunia.

Dalam cacatan Kemendagri RI (2013), jumlah daerah otonom baru di Indonesia mencapai 205 daerah.

Tapi sayang, jumlah daerah otonom baru ini tak sebanding dengan prestasinya mensejahterakan rakyat. Malah sebaliknya, sebagian besar daerah otonom baru ini membebani APBN, karena tak memiliki pendapatan asli daerah.

Meski aturan telah diterapkan tahun 2009 tentang kebijakan moratorium pembentukan daerah otonom baru oleh pemerintah, hingga Mei 2012 lalu, Kemendagri telah menerima 183 usulan pembentukan daerah otonom baru, baik yang diusulkan oleh pemerintah daerah maupun yangnmengatasnamakan aspirasi masyarakat, terdiri atas usulan 33 provinsi baru, 133 kabupaten baru, dan 17 kota baru. Artinya, kebijakan moratorium yang telah diambil pemerintah ini belum dipahami secara utuh oleh pihak-pihak terkait.

Munculnya usulan pembentukan daerah baru secara luas ini, terkadang tidak dipahami elit politik kita di sejumlah daerah. Usulan pembentukan daerah terus menggelinding, tapi usulan itu sebagian besar berdasarkan hawa nafsu segelintir para elit kita di daerah yang haus kekuasaan.

Rakyat dijadikan “kambing hitam” untuk memekarkan sebuah daerah. Semuanya menyebut atas nama rakyat dan untuk rakyat. Tapi setelah daerah dimekarkan, konflik kecil di daerah pun terjadi sebagai dampak pemekaran daerah.

Fakta yang kita lihat di lapangan, setelah pembentukan daerah otonom baru, tak jarang daerah itu masih “menetek” kepada daerah induknya. Bantuan untuk membiayai daerah baru sebagian besar menjadi beban daerah induk, bahkan setelah beberapa tahun pun tidak mampu mandiri dan terus menerus meminta pembiayaan dari APBN.

Baca Juga :  Catatan Akhir Tahun SMSI Sumut 2024 : Membangun Kembali Tatanan Organisasi Pasca Pilkada

Otonom Bangkrut

Sejumlah kajian telah dilakukan para pakar kita. Hasil kajian itu, dari 205 daerah otonom baru di Indonesia, ternyata hanya 5 persen saja yang masuk kategori berhasil. Ini artinya, dalam perspektif statistik, daerah yang dimekarkan selama 10 tahun terakhir adalah kebijakan yang gagal. Jika dilihat hasil evaluasi kinerja daerah otonom baru itu, hampir 95 persen berkinerja buruk. Bahkan, sejumlah daerah di antaranya bisa dianggap gagal, karena pelayanan publik tidak bertambah baik dan tidak berhasil pula memilih kepala daerah. Yang terjadi malah konflik berkepanjangan karena terlalu menunjukkan ego para elit politik di daerah yang haus kekuasaan.

Gagalnya daerah otonom baru menjadi daerah yang mandiri, menjadi masalah yang kompleks.Di satu sisi, harapan rakyat kita adalah memberikan pelayanan yang lebih baik pasca pemekaran.

Tapi di sisi lain, harapan itu menjadi kacau, karena kabupaten/kota yang dimekarkan itu menjadi beban yang berkepanjangan bagi negara. Kebijakan pemekaran yang sudah dilakukan ini, memang tidak terencana secara baik. Dan, akhirnya bermuara pada hadirnya daerah-daerah otonom bangkrut serta lambatnya pencapaian tujuan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Berkaca dari pemekaran daerah yang gagal, Kemendagri RI akhirnya berencana akan

melikuidasi daerah otonom baru yang sulit berkembang. Bahkan, Direktur Jenderal Otonomi. Daerah Kemendagri RI, Djohermansyah Djohan mengatakan, pada 2017 mendatang penghapusan daerah otonom baru akan dilakukan, jika tidak mampu mandiri dan hanya beban anggaran negara.

Likuidasi daerah otonom baru itu, sangat beralasan dan mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2012 tentang Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas.Pemerintah.

Belum selesai masalah 205 daerah otonom baru, sudah muncul kembali RUU 65 daerah otonom baru. Bahkan usulan daerah otonom baru ini sudah disetujui DPR RI melalui hal inisiatifnya lewat sidang paripurna 24 November 2013. Dalam sidang tersebut, mengesahkan RUU 65 daerah otonomi baru.

Baca Juga :  Distorsi Politik dan Ekonomi Dalam Sengkarut Pembangunan Nasional

Seluruh fraksi mendukung pembentukan 65 daerah otonom baru, terdiri dari 8

calon provinsi, 7 kota dan 50 kabupaten. Paling mengejutkan kita semua, khususnya di Sumatera Utara, dari 65 daerah otonom baru itu, 4 di antaranya berada di Sumut, yakni Provinsi Tapanuli, Provinsi Kepulauan Nias, Kabupaten Simalungun Hataran dan Kabupaten Pantai Barat.

Mandailing. Setidaknya, sebelum pemekaran daerah baru terwujud, harus ada langkah-langkah strategis dilakukan pemerintah, guna mengantisipasi daerah otonom baru yang tidak berkembang.

Satu sisi, langkah yang dilakukan pemerintah dengan cara melikudidasi daerah otonom yang tidak mandiri. Mekanisme yang dilakukan pemerintah adalah menggabungkan kembali daerah yang dimekarkan kepada kabupaten induk.

Tapi, langkah ini justru dinilai terlalu mundur. Sangat tidak masuk akal, jika daerah otonom baru kembali bergabung ke asalnya. Lantasnya, bagaimana dengan perangkat birokrasinya yang sudah terbentuk, seperti bupati, wakil bupati sampai kepada tingkat SKPD. Jika digabungkan, ini akan bertambah rumit, terutama dalam menyatukan perangkat birokrasinya.

Langkah yang terbaik agar daerah otonom baru tidak dilikuidasi kepada daerah induknya, maka upaya penataan ulang harus dilakukan secepatnya, seperti mengevaluasi PAD-nya. Jika evaluasi dilakukan secara teratur, kehadiran pemekaran daerah otonom baru benar-benar dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Harapan lainnya, rakyat akan terlayani menjadi lebih baik, meski harapan dan cita-cita ini masih panjang.

Penulis adalah dosen FISIPOL UMSU dan Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Periode 2010-2014.

Tinggalkan Balasan

-->