Secercah Harapan dari Rumah Baca Pesisir, Kisah Ratna Sari Nyalakan Cahaya Ilmu di Desa Pantai Cermin

sentralberita|Pantai Cermin~Lingkungan pesisir sering kali menghadirkan tantangan tersendiri bagi anak-anak dan remaja. Kemiskinan, budaya pergaulan bebas, serta kemudahannya mendapatkan uang melalui cara-cara instan kerap menjadi pintu masuk penyalahgunaan narkoba. Kondisi ini membuat generasi muda pesisir rentan terhadap pengaruh dan terdorong untuk mencari jalan pintas yang justru merusak masa depan mereka.
Ada sebuah rumah baca sederhana yang berdiri sebagai pelita yang menuntun masa depan generasi kecil. Dari tempat yang penuh kasih itu, anak-anak diajak mencintai ilmu, mengasah akhlak, dan menumbuhkan mimpi melalui buku dan cerita yang menguatkan hati. Suara tawa mereka menjadi bukti bahwa secercah harapan tengah tumbuh, menggantikan bayang kelam yang pernah mengintai. Perlahan namun pasti, cahaya ilmu dan iman mulai mencapai langkah mereka menuju masa depan yang lebih baik.
Di tengah kegelapan yang menyalakan Dusun II Desa Pantai Cermin Kiri akibat maraknya peredaran narkoba, secercah cahaya muncul dari sebuah rumah baca sederhana bernama Taman Bacaan Hamzar.
Di tempat inilah Ratna Sari, selaku Penyuluh Agama Islam Kecamatan Pantai Cermin, menyalakan obor harapan bagi anak-anak pesisir melalui kegiatan literasi dan pelatihan karakter Islami.
Rumah baca ini didirikan oleh Pemerintah Desa Pantai Cermin Kiri dan menyimpan energi positif yang luar biasa. Suara tawa anak-anak kerap terdengar riang dari dalamnya, memecah kesunyian sakit di kampung pesisir tersebut. Di tempat inilah, setiap pekan, Ratna menanamkan semangat membaca, belajar, dan berakhlak mulia kepada generasi kecil yang tumbuh di tengah lingkungan penuh tantangan.
Ridwan, salah satu anak taman bacaan Hamzar, tak dapat menyembunyikan rasa bahagianya. Dengan senyum malu-malu, ia berkata, “Saya senang sekali, Kak. Kalau membaca nyaring, rasanya seperti masuk ke dalam buku. Saya jadi lebih berani dan ingin terus datang ke sini.” Ucapannya yang polos itu membuat suasana semakin hangat dan menyentuh hati.
Kegiatan literasi ini dilaksanakan setiap Senin dan Jumat pukul 14.30–16.30 WIB, dibantu oleh empat pengajar yang dipilih langsung oleh pemerintah desa. Mereka tidak hanya memiliki kemampuan mengajar, tetapi juga dinilai mampu memberikan pengaruh positif bagi anak-anak. Para pengajar tersebut menjadi teladan sekaligus penggerak kebaikan di tengah masyarakat.
Setiap Kamis sore, Ratna datang dengan sepeda motornya. Sekitar 35 anak sudah menunggu dengan wajah berbinar di teras Taman Bacaan Hamzar. Dengan penuh kesabaran, Ratna memulai sesi dengan kegiatan membaca bersama, lalu dilanjutkan dengan cerita tentang kisah-kisah inspiratif para nabi dan tokoh Islam.
“Membaca itu bukan hanya untuk cerdas, tetapi agar anak-anak memiliki arah dan cita-cita yang jauh dari kegelapan dunia narkoba,” ujar Ratna dengan mata berbinar. Ia meyakini, anak-anak yang gemar membaca akan tumbuh dengan imajinasi yang luas, hati yang tenang, serta pemikiran yang sehat.
Selain membaca, anak-anak juga belajar menggambar, menulis, dan berselawat bersama. Kegiatan tersebut menjadikan taman baca bukan sekadar tempat belajar, melainkan juga ruang tumbuhnya harapan dan nilai-nilai kehidupan.
Kepala Desa Pantai Cermin Kiri, M. Elizar, mengakui bahwa daerah mereka pernah mengalami masa kelam. Label “kampung narkoba” melekat kuat akibat banyaknya pengedar dari luar yang menjadikan wilayah pesisir itu sebagai tempat peredaran gelap. Stigma tersebut membuat masyarakat merasa malu dan kehilangan kepercayaan diri.
Namun Elizar tidak tinggal diam. Ia menggandeng para tokoh masyarakat dan penyuluh agama, termasuk Ratna Sari, untuk menghadirkan kegiatan positif yang mampu mengalihkan perhatian anak-anak dan remaja dari pergaulan buruk. “Kalau anak-anak tidak kita arahkan sekarang, mereka akan mudah terpengaruh. Karena itu, kami ingin menanamkan kecintaan belajar sejak dini,” ujarnya.
Dari sinilah gagasan Taman Bacaan Hamzar lahir, sebuah ruang sederhana yang diharapkan bisa menumbuhkan budaya literasi, moral, dan spiritual di tengah masyarakat. Setiap sore, anak-anak datang dengan seragam seadanya, membawa buku tulis dan pensil dalam tas. Mereka duduk menyimak setiap kata yang diucapkan Ratna. Beberapa anak tampak malu-malu, sebagian lainnya bersemangat menjawab pertanyaan.
Namun perjuangan ini tidak selalu berjalan tenang. Suatu Kamis sore sekitar pukul 16.15 WIB, setelah Ratna selesai mengajar dan memulangkan anak-anak, situasi mendadak mencekam. Tidak jauh dari taman baca, terdengar suara sepeda motor melaju kencang diikuti beberapa polisi. Dalam hitungan detik, suara tembakan peringatan memecah keheningan.
“Tiga kali suara letusan terdengar, membuat semua orang panik,” kenang Ratna. Warga berlarian ke dalam rumah, sementara beberapa anak menangis ketakutan. “Saya langsung berinisiatif membonceng empat anak menjauh dari lokasi, sementara yang lain saya suruh lari pulang lewat jalan belakang.” Kejadian itu meninggalkan trauma bagi sebagian anak. Beberapa hari kemudian, mereka enggan datang ke taman baca karena takut.
Bagi Ratna, momen menegangkan itu menjadi cambuk semangat. Ia menyadari bahwa perjuangannya bukan sekadar mengajar membaca, melainkan juga melindungi masa depan anak-anak dari lingkaran gelap yang terus mengintai.
Dengan dukungan Kepala Desa dan masyarakat, kegiatan literasi terus berjalan. Para pengajar lainnya di antaranya guru ngaji, mahasiswa, dan pemuda setempat ikut terlibat secara sukarela. Mereka mengatur jadwal, menyiapkan materi, dan bahkan merogoh kantong pribadi untuk membeli buku bacaan baru, “Bukan soal bayaran, tapi ada kepuasan batin. Melihat anak-anak tertawa saja sudah cukup,” kata salah satu pengajar, Fauji, yang juga imam masjid yang tidak jauh dari Taman Bacaan Hamzar tersebut.
Kini, Taman Bacaan Hamzar telah menjadi simbol perubahan sosial. Anak-anak yang dulu sering bermain tanpa arah kini lebih banyak menghabiskan waktu dengan buku. Orang tua pun mulai sadar akan pentingnya pendidikan dan mulai melarang anak-anak keluar malam. “Dulu jam lima sore sudah banyak yang nongkrong di warung, sekarang lebih banyak yang di taman baca,” ujar seorang warga sambil tersenyum.
Ratna percaya bahwa perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. “Kalau bukan kita yang menyalakan cahaya, siapa lagi? Narkoba itu gelap, tapi ilmu dan iman bisa membuatnya pudar,” ujarnya tegas. Setiap kali senja tiba, Ratna berdiri di depan taman baca memandang anak-anak yang sibuk menulis dan menggambar. Dalam hatinya, ia tahu bahwa perjuangan belum selesai. Masih banyak tantangan, tetapi selama ada semangat dan cinta, cahaya itu tak akan padam.
Kini, di Pantai Cermin Kiri, mulai tumbuh harapan baru. Anak-anak kembali berani bermimpi, masyarakat lebih peduli, dan desa perlahan keluar dari bayang-bayang kelam masa lalu. Semua berawal dari tekad seorang penyuluh agama yang percaya bahwa pena lebih tajam daripada jarum narkoba. Melalui tangan-tangan sabar para pengajar dan dukungan pemerintah desa, taman baca ini telah menjelma menjadi taman harapan. Di tengah bayang-bayang ancaman narkoba, anak-anak pesisir menemukan tempat aman untuk tumbuh, belajar, dan bermimpi.
Dengan semangat literasi dan dakwah yang ia bawa, Ratna Sari menjadi sosok inspiratif yang membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil, dari sebuah buku, sekelompok anak, dan hati yang tulus untuk melawan gelap dengan cahaya ilmu.
