Putusan Pengadilan Tinggi Terhadap Tamin Sukardi Dinilai Tidak Adil
sentralberita|Medan~Putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi Medan yang menjatuhkan vonis delapan tahun penjara buat Tamin Sukardi dan membayar kerugian Rp 132,4 miliar serta seluruh aset tanah yang diperkarakan dirampas untuk negara dinilai tidak adil.
Keluarga menilai putusan tersebut sarat dengan tekanan dan hanya mempertimbangkan fakta yang bertujuan untuk “menghabisi” Tamin, bukan memberi keadilan.
Iwan Samosir, adik dari istri Tamin Sukardi menyatakan putusan Pengadilan Tinggi sangat tidak adil. Iwan menyebut banyak fakta yang dikesampingkan oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi. Iwan menambahkan anehnya putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap mengenai tanah yang sudah dieksekusi dikesampingkan oleh majelis Pengadilan Tinggi Medan.
“Ini tidak adil,dan tidak masuk akal sama sekali, bagaimana mungkin ada putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap di Mahkamah Agung diabaikan dalam pengambilan putusan banding di tingkat Pengadilan Tinggi. Dengan keputusan seperti ini, bagaimana rakyat bisa tetap percaya dengan adanya penegakan hukum yang adil di negara kita ini,”* kata Iwan kepada wartawan di Medan, Kamis (15/11).
Iwan juga menyoal kembali legal opini Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara terhadap tanah yang diperkarakan sudah dinyatakan tidak ada ganti rugi, namun Kejaksaan Agung justru menetapkan Tamin Sukardi sebagai tersangka. Iwan mempertanyakan apakah hal ini tidak jadi dasar pertimbangan bagi majelis Pengadilan Tinggi untuk mengambil keputusan.
Kemudian, sebut Iwan, tidak ada satupun saksi atau alat bukti selama berlangsung persidangan di Pengadilan Negeri yang menunjukkan niat jahat Tamin. Justru sebaliknya, fakta menunjukkan bahwa ahli waris pemegang alas hak tanah Helvetia yang melakukan gugatan terhadap PTPN-II. Iwan menambahkan gugatan itu bukan karena disuruh Tamin Sukardi tapi karena marah setelah mengetahui PTPN-II menjual tanah ex-HGU tersebut kepada pihak ketiga yaitu pengusaha properti di Medan dengan berlindung di balik organisasi kemasyarakatan.
“Ini semua fakta, tapi kenapa diabaikan. Lantas, atas dasar apa putusan ini diambil. Tidak ada penjelasan kenapa semua poin pembelaan yang diajukan diabaikan oleh pihak majelis ,” tandas Iwan.
Majelis hakim Pengadilan Tinggi Medan menjatuhkan vonis delapan tahun penjara bagi Tamin Sukardi dalam sidang putusan perkara banding di Ruang Utama Pengadilan Tinggi Medan, Kamis (15/11). Putusan ini lebih tinggi dua tahun dibanding putusan Pengadilan Negeri Medan.
Majelis hakim yang dipimpin Dasniel bersama dua hakim anggota masing-masing Albertina HO dan Mangasa Manurung dalam amarnya mengubah putusan Pengadilan Negeri Medan pada 27 Agustus 2018 lalu. Majelis menegaskan tetap mempertimbangkan dakwaan primer Jaksa Penuntut Umum.
“Mengadili terdakwa Tamin Sukardi dengan pidana penjara selama 8 tahun, denda Rp 500 juta, apabila denda tidak dibayar diganti dengan masa kurungan selama 6 bulan,” ujar Dasniel pada sidang yang berlangsung tanpa dihadiri Jaksa Penuntut Umum maupun Penas…
[19:00, 11/15/2018] Fuad SIREGAR: Kepala KCP Bank Sumut Kantor Gubsu,Korupsi Rp 3,9 M,Diadili
Medan – andalas
Mantan Kepala Cabang Pembantu (KCP) kantor Gubsu, Bank Sumut, Ahmad Lutfi didakwa telah merugikan negera sebesar Rp3.946.232.569,44 miliar. Dia diadili bersama Dodi Susanto (berkas terpisah), dalam perkara pemberian kredit pemilikan rumah (KPR).
“Bahwa Ahmad Lutfi bersama dengan Dodi Susanto telah melakukan perbuatan untuk memperkaya diri sendiri, yang menyebabkan kredit macet hingga merugikan negara sebesar
Rp3.946.232.569,44,” ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) TM Pakpahan, dihadapan majelis hakim yang diketuai, Mian Munte, di ruang sidang Cakra 4, Pengadilan Negeri (PN) Medan, Kamis (15/11).
Usai pembacaan dakwaan, majelis hakim menunda sidang pada Kamis (22/11) pekan depan, dengan agenda eksepsi terdakwa.
Sebagaimana diketahui, pada tanggal 2 Juli 2012, Dodi Susanto mengajukan kredit untuk pembelian ruko dari pengembang PT Tanto Jaya, dengan menggunakan nama orang lain. Yakni Marsyadi, Josef Yulianto Hutagalung, Hamdani Syahputra, Mohammad Fahriza dan Dzulfikar, melalui KCP kantor Gubsu Bank Sumut.
Dengan rincian, Marsyadi Rp3 miliar, Josef Yulianto Hutagalung Rp3 miliar, Hamdani Syahputra Rp3 miliar, Mohammad Fahriza Rp3 miliar dan Dzulfikar Rp1,3 miliar. Permohonan KPR kelima debitur tersebut, akan digunakan untuk pembelian ruko yang terletak di Jalan Darussalam, Medan.
Untuk memproses permohonan kredit, terdakwa menerbitkan surat tugas taksasi karena permohonan dokumen tidak dilengkapi data pekerjaan pemohon, data suami/istri, data agunan/objek yang dibiayai, data aktiva, data utang/pinjaman, data pendapatan/pengeluaran dan hubungan dengan Bank Sumut.
Namun oleh terdakwa, menyalahgunakan kewewenangannya memerintahkan seksi pemasaran untuk melakukan rekayasa dokumen tersebut. Dengan syarat ketentuan tersebut, terdakwa tetap memaksak pelaksana administrasi kredit agar tetap menginput data permohonan kredit kedalam sistem.
Untuk memuluskan pencairan, terdakwa mengintimidasi pegawai Bank Sumut KCP kantor Gubsu. Alhasil pada tanggal 8 dan 9 Januari 2013, dilakukan dengan pencairan Rp12.900.000.000 dengan 5 debitur tersebut. Kelima debitur tersebut, tidak pernah menerima dan menggunakan uang, karena ATM dan buku tabungan masing-masing debitur dipegang oleh saksi Dodi Susanto.
Atas perbuatan terdakwa, Ahmad Lutfi melanggar pasal 3 Jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana pemberantasan korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi Jo pasal 55 ayat (1) KUHPidana.( SB/FS )