Eksekusi Register 40 Menguntungkan Siapa?
Oleh : Ahcmad Sandry Nasution, SH,. M.Kn
Sejak keluarnya putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 2642 K/ Pid/ 2006, tanggal 12 Pebruari 2007 yang telah menghukum 8 (delapan) tahun penjara SUTAN RAJA DARIANUS LUNGGUK SITORUS pemilik perusahaan PT. TOR GANDA karena telah dinyatakan merambah kawasan hutan atau yang sering kita dengar dengan istilah “Register 40” seluas ±47.000 Ha di Kabupaten Padang Lawas. Kata Register 40 ini bagi sebagian besar masyarakat di Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara, khusunya masyarakat yang melakukan kerjasama dengan PT. TOR GANDA sangat mencemaskan mereka karena di atas lahan yang dikatakan sebagai Register 40 ini menyangkut kehidupan sekitar ±60.000 jiwa termasuk karyawan yang bekerja di PT. TOR GANDA sebanyak ±15.000 kepala keluarga. Kata Register 40 adalah penyebutan bagi daerah/ kawasan hutan, tetapi anehnya istilah Register 40 ini hanya terdapat di daerah kawasan hutan Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara. Kata Register 40 ini telah menjadi buah bibir pada masyarakat di Sumatera Utara tepatnya bagi masyarakat Luhat Simangambat, Ujung Batu dan Huristak yang berada di Padang Lawas dan Padang Lawas Utara. Istilah Register 40 ini muncul dan menghangat hampir di setiap pergantian rezim pemerintahan. Di tahun 2015 muncul kembali dengan adanya upaya pemerintah akan melaksanakan eksekusi terhadap kawasan hutan Register 40 yang dikuasai oleh PT. TOR GANDA, KPKS Bukit Harapan dan Koperasi PARSUB berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap yang sudah dikeluarkan sejak tahun 2007.
Disisi lain masyarakat setempat mengakui bahwa sudah sejak beratus-ratus tahun yang lalu tanah yang dikatakan pemerintah sebagai kawasan hutan Register 40 tersebut adalah tanah ulayat mereka, dan sudah dikuasai secara turun-temurun. Menurut beberapa tokoh masyarakat hal tersebut dibuktikan ada kerajaan yang dipimpin oleh raja-raja di masing-masing wilayah kerajaan yaitu kerajaan Luhat Ujung Batu, Kerajaan Luhat Simangambat dan Kerajaan Luhat Huristak dan memiliki wilayah kerajaan yang sangat luas atau sekarang wilayah tersebut disebut sebagai tanah adat (tanah ulayat) marga Hasibuan.
Seiring dengan perkembangan zaman tanah ulayat tidak terurus lagi oleh masyarakat adat karena tatanan kehidupan masyarakat adat semakin memudar, yang awalnya bersifat kolonial berubah kepada individual dan tanah ulayat banyak beralih fungsi menjadi hak milik. Masuknya perusahaan-perusahaan yang melakukan penebangan kayu secara besar-besaran membuat ekonomi masyarakat adat saat itu semakin terhimpit. Melihat kondisi tersebut sekitar tahun 1998 tokoh-tokoh adat berupaya mencari investor untuk mengelola tanah ulayat tersebut untuk dikerjasamakan dalam pembangunan kebun kelapa sawit dengan sistem bagi hasil (Pola Plasma 2 Ha per Kepala Keluarga). Keinginan masyarakat tersebut sudah disampaikan ke pemerintah seperti Inhutani IV dan PTPN III untuk melakukan kerjasama, namun entah kenapa tidak terlaksana dan tidak mendapat respon. Kemudian pada saat itu tokoh-tokoh adat sebagai perwakilan masyarakat sepakat menawarkan kerjasama kepada SUTAN RAJA DARIANUS LUNGGUK SITORUS pemilik PT. TOR GANDA untuk mengelola tanah ulayat mereka tersebut yang kemudian mendapat tanggapan positif, sehingga terlaksana kerjasama dalam bentuk pembangunan kebun kelapa sawit dengan sistem bagi hasil dan sampai saat ini sudah dinikmati oleh masyarakat.
Kehadiran PT. TOR GANDA tidak luput dari pro dan kontra di masyarakat, ada yang menerima ada pula yang tidak. Apalagi setelah adanya berita bahwa tanah yang diserahkan masyarakat tersebut adalah kawasan hutan Register 40 sebagaimana dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2642 K/ Pid/ 2006, tanggal 12 Februari 2007 yang menghukum pemilik perusahaan PT. TOR GANDA sebagai akibat menguasai dan mengerjakan kawasan hutan Register 40 Padang Lawas. Disamping itu masyarakat terus menyampaikan kepada pemerintah bahwa tanah tersebut adalah tanah ulayat mereka dan disisi lain PT. TOR GANDA juga mendapatkan izin dari Menteri Kehutanan sebagaimana dalam surat izin prinsip Nomor: 1680/ Menhut-III/ 2002 tanggal 26 September 2002. Walaupun pada tahun 2004 Menteri Kehutanan mencabut surat izin tersebut tersebut, namun berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor: 06/ PK/ TUN/ 2008 tanggal 5 Mei 2008 pada upaya hukum terahir telah memenangkan PT. TOR GANDA yang artinya PT. TOR GANDA memiliki izin mengelola Kawasan Hutan Register 40 tersebut.
Pemerintah terus berupaya untuk mengeksekusi lahan yang dikuasai oleh PT. TOR GANDA berdasarkan Putusan MA RI Nomor: 2642 K/ Pid/ 2006, tanggal 12 Februari 2007, sebagaimana dalil dalam putusan yang menyatakan menyita seluruh asset yang berdiri diatas Kawasan Hutan Register 40 dan kawasan hutan seluas ±47.000 Ha yang dikuasai PT. TOR GANDA. Putusan yang sudah keluar sejak tahun 2007 ini berdasarkan penjelasan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara saat itu sudah melakukan eksekusi manajemen, namun karena dalam hukum tidak dikenal istilah eksekusi manajemen, eksekusi pun terkesan setengah hati.
Adanya upaya eksekusi yang akan dilaksanakan oleh pemerintah membuat masyarakat yang melakukan kerjasama dengan PT. TOR GANDA menjadi tidak tenang karena takut hak-hak masyarakat akan diabaikan pemerintah. Adanya dua putusan hukum yang berbeda dalam objek yang sama membuat kepercayaan masyarakat dalam penegakan hukum semakin ragu, sebab berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2642 K/ Pid/ 2006, tanggal 12 Pebruari 2007, PT. TOR GANDA dipersalahkan karena merambah kawasan hutan Register 40, tetapi PT. TOR GANDA juga mendapatkan izin dari Menteri Kehutanan, yang pada tingkat upaya hukum terahir telah dimenangkan oleh PT. TOR GANDA berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor: 06/ PK/ TUN/ 2008 tanggal 5 Mei 2008 untuk mengelola kawasan hutan Register 40 tersebut. Kemudian masyarakat adat menguatkan hal tersebut dengan mengatakan bahwa tanah tersebut bukan Register 40 melainkan adalah tanah ulayat mereka, sehingga apabila eksekusi tetap dilaksankan pemerintah di khawatirkan akan menimbulkan konflik dan masyarakat juga yang akan menjadi korban.
Eksekusi Register 40 belum tentu menguntungkan masyarakat
Setelah sekian tahun persoalan Register 40 ini tidak terdengar, setidaknya pada bulan Mei 2015 muncul kembali di rezim pemerintahan Peresiden Joko Widodo. Walaupun kasus ini pada setiap periode pemerintahan selalu mencuat, namun entah kenapa tahun 2015 ini dirasakan pemerintah cukup serius untuk segera melaksankan eksekusi, dimana pemerintah melibatkan berbagi pihak untuk menyelesaikan kasus Register 40 ini. Proses eksekusi Register 40 ini menjadi semakin hangat karena dalam penanganannya melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga kasus ini diharapkan dapat segera tuntas dan masyarakat terlindungi.
Di dalam penyelesaian kasus ini pemerintah cenderung terus mengejar isi dari putusan Mahkamah Agung Nomor: 2642 K/ Pid/ 2006, tanggal 12 Februari 2007 saja, dengan memaksakan melakukan eksekusi fisik. Disisi lain pemerintah sepertinya tidak konsisten agar kawasan Register 40 dikembalikan kepada peruntukan semula, yaitu sebagai kawasan hutan. Hal ini terbaca dengan terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.12/ Menhut-II/ 2014 tentang Pedoman Pemanfaatan Barang Milik Negara Berupa Perkebunan Kelapa Sawit di Hutan Register 40 Padang Lawas Provinsi Sumatera Utara Seluas ±47.000 (empat puluh tujuh ribu) Hektar Beserta Seluruh Bangunan Yang Ada Di Atasnya, tanggal 26 Pebruari 2014. Dimana dalam Peraturan Menteri ini menyatakan bahwa kawasan hutan Register 40 ini akan ditenderkan dengan tujuan meningkatkan penerimaan Negara. Hal ini tentu membuat masyarakat jadi bingung khususnya masyarakat di Kabupaten Padang Lawas Utara dan Kabuapaten Padang Lawas. Dimana masyarakat yang sudah bertahun-tahun menjalin kerjasama dengan PT. TOR GANDA merasa tidak mendapat perlindungan atas hak-haknya dan menimbulakan berbagai pertanyaan, apakah tidak bisa PT. TOR GANDA saja yang mengelola kawasan hutan Register 40 tersebut?, dan pemerintah silahkan menarik pajak untuk meningkatkan penerimaan Negara!.
Seharusnya pemerintah lebih arif untuk menyelesaikan permasalahan eksekusi ini dengan mengajak pihak PT. TOR GANDA untuk duduk bersama mencari solusi. Apabila pemerintah berkehendak tentu saja PT. TOR GANDA dapat dijadikan sebagai pengelola dan pemerintah dapat menarik pajaknya sebagai penerimaan Negara. Sebab melaksanakan eksekusi tentu memerlukan biaya besar dan dapat menimbulkan konflik di masyarakat. Oleh karena itu upaya eksekusi perlu dikaji kembali oleh pemerintah, agar masyarakat tidak menjadi korban.
Semoga saja Pemerintah memperhatikan hak-hak masyarakat yang sudah ada, sehingga dengan adanya eksekusi hak-hak masyarakat tidak begitu saja hilang. Sebagaimana yang diucapkan oleh Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Dr. Ir. SITI NURBAYA BAKAR,M.Sc dalam proses eksekusi nantinya tidak akan merugikan masyarakat dan tidak mengganggu kegiatan ekonomi masyarakat.
Pemerintah seakan kehilangan akal untuk mengeksekusi Register 40.
Masyarakat Kabupaten Padang Lawas Utara dan Padang Lawas khususnya yang bermitra dengan perusahaan PT. TOR GANDA justru semakain resah dengan keluarnya surat Menteri Kahutanan dan Lingkungan Hidup Nomor: S.13/ Menlhk-Setjen/ RHS/ 2015 tanggal 25 Juni 2015, perihal Pemberitahuan Putusan Mahkamah Agung terkait Register 40 Padang Lawas. Dimana dalam surat tersebut adanya larangan pengusaha perkebunan kelapa sawit yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) melakukan transaksi bisnis dengan koorporasi PT. TORUS GANDA. Apalagi adannya larangan bahwa “segala kegiatan atau transaksi berkaitan dengan perkebunan dan seluruh bangunan diatasnya di kawasan Register 40 Padang Lawas yang dikuasai secara illegal oleh koorporasi milik SUTAN RAJA DARIANUS LUNGGUK SITORUS merupakan kegiatan melawan hukum dan dapat dipidana”. Keluarnya surat ini seakan pemerintah kehilangan akal untuk mengeksekusi kawasan hutan Register 40 tersebut, padahal sebelumnya Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Dr. Ir. SITI NURBAYA BAKAR,M.Sc pernah mengatakan bahwa “eksekusi Register 40 tidak akan menyengsarakan rakyat dan tidak akan memutus mata rantai bisnis sehingga masyarakat tidak dirugikan”. Namun apabila kita membaca hal ini justru bertentangan dengan keluarnya surat Menteri Kahutanan dan Lingkungan Hidup Nomor: S.13/ Menlhk-Setjen/ RHS/ 2015 ter tanggal 25 Juni 2015 tersebut, dimana dengan keluarnya surat tersebut berdampak kepada sebagian besar masyarakat. Dengan keluarnya surat tersebut masyarakat yang menjalin kerjasama pembangunan kebun kelapa sawit dalam bentuk plasma dengan PT. TOR GANDA tidak dapat menerima hasil plasma lagi karena PT. TOR GANDA tidak bisa menjual minyak kelapa sawit, hal tersebut tentu sudah mengganggu ekonomi masyarakat dan masyarakat sekitar juga kesulitan menjual buah kelapa sawit sebab pabrik milik PT. TOR GANDA tidak beroperasi akibat surat tersebut. Belum lagi harga buah kelapa sawit yang murah dan kondisi ekonomi Negara yang semakin terpuruk sehingga sangat membebani ekonomi masyarakat bawah. Ditambah lagi dengan keluarnya surat tersebut setidaknya berpengaruh terhadap ekonomi masyarakat di Padang Lawas dan Padang Lawas Utara, dimana sebagian masyarakat merasa kesulitan untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Kita berharap semoga pemerintah lebih arif dalam menyikapi persoalan kawasan hutan Register 40 ini sehingga masyarakat tidak menjadi korban. Semoga…!
BIODATA:
Nama : AHCMAD SANDRY NASUTION,SH.,M.Kn
Tempat/ Tanggal Lahir : Panunggulan 10 April 1987
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jl. Bunga Kardiol, Gg. Saudara, Kel. Ladang Bambu, Kec.
Medan Tuntungan- Kota Medan