Perempuan-perempuan Hebat Dalam Kiprah Berbeda

Perempuan-perempuan Hebat Dalam Kiprah Berbeda

sentralberita|Medan~Bertepatan dengan Hari Ibu yang jatuh hari ini, Minggu, 22 Desember 2019, kami menurunkan tulisan dua perempuan hebat yang berjuang di bidangnya masing-masing.Keduanya Melviana dan Yosephine Natalitha Sembiring.
Melviana

Melviana

“AKU kini melakukan semua pekerjaan sendiri untuk kehidupanku dan dua anakku,” ungkap Melviana, 43 mengawali perbincangan kami di Medan Minggu (22/12/2019).

Perempuan warga Jalan Srikandi Medan Denai, Sumatera Utara ini dinobatkan sebagai salah satu driver terbaik Gojek, transportasi online di Medan. Bertepatan dengan Hari Ibu yang jatuh hari ini, Minggu, 22 Desember 2019.

Hampir dua tahun, dia berlalulalang di jalanan kota Medan dengan kendaraan roda dua sebagai mitra Gojek. Kini ia menekuni pekerjaan tersebut sambil memikirkan pekerjaan apa yang kelak bisa dilakukannya di usia tidak muda lagi. Ia berusaha menyisihkan uang untuk modal usaha menjahit, jualan gas dan air mineral.

“Nggak mungkin aku tahan sampai tua terus narik kereta (jadi driver-red),” ungkapnya. Sosoknya yang cukup pendiam dan perawakan lembut merupakan ciri khas wanita ini

Melvi, panggilan akrabnya, merasakan cukup tentram dengan keadaannya sekarang. Meski dia tidak pernah menyangka dirinya akan menjadi tulang punggung bagi sepasang anaknya.

“Sejak kami cerai, dia tidak pernah memberi nafkah anak-anaknya. Kalau jumpa sekali-sekali paling ngasih uang jajan anaknya lima ribu rupiah,” katanya sambil menyeka air mata yang terlanjur menetes. Ia pun mulai bercerita tentang kisah hdupnya.

Aku kelahiran Medan pada 12 Mei 1976 dari enam bersaudara. Aku anak ketiga. Bapakku, Alm. Pak Sutomo asal Surabaya, dulunya kerja di kapal sehingga jarang lama di rumah. Dalam setahun hanya beberapa hari saja di rumah, itupun kalau kapalnya singgah sebentar di Belawan.

Jadi masa kecil kami lebih banyak dididik ibuku, Bu Lailan Sapinar yang cukup gigih. Namun ketika kapal bapakku lama mendarat, ia pun memutuskan tetap di darat saja dan berjualan daging di Pasar Petisah sampai ajal menjemputnya tahun 2002. Saat berkumpul, senang kali rasanya punya orangtua lengkap.

Sejak kecil aku suka olahraga apa saja, cabang senam artistik adalah kesukaanku, mencobanya sejak kelas 4 SD. Senam indah ini bisa membuat badanku meliuk-liuk di udara dengan alat balok dan sejenisnya. Senang kali ketika penonton tepuk tangan bergemuruh. Aku bangga sekali rasanya dan berusaha terus menjadi yang terbaik.

Kelas 1 SMP aku ikut PON XII di Jakarta tahun 1989, dapat juara 4. Lumayanlah karena waktu tanding alatnya beda dengan ketika latihan di Medan, alat senamnya minim, matras gantian sama putra. Pada PON ke XIII tahun 1993 di Jakarta aku ikut lagi, dapat juara III. Habis itu, kelas III SMA aku berhenti sebagai altet senam karena diantara atlet, aku paling tua dan memutuskan menjadi pelatih senam saja.

Namun jiwa olahragaku tak pernah diam. Tahun 2002 aku terjun ke gulat sebagai atlet karena saat itu mau ada kejuaraan gulat di Kalimantan Timur. Dua bulan latihan ikut tanding dan meraih juara 2. Tahun 2003 ikut Pelatnas gulat di Ragunan dapat juara 2 lagi, tapi tak sampai ke Sea Games karena yang diambil juara 1.

Tahun 2006 aku menikah dengan Ade Putra yang berkerja di Banda Aceh. Dimulai dari sinilah agaknya cobaan terus menderaku. Sejak nikah aku tidak dibolehkan suami terjun ke olahraga apapun. Aku berhenti total di olahraga. Padahal harapan terbesarku, dari olahraga aku bisa menjadi PNS walaupun hanya tamat SMA.

Banyak yang sudah janji memberikanku hadiah jadi PNS. Tapi semua itu hilang, setelah aku berhenti total di olahraga dan menjadi ibu rumah tangga. Padahal kalau aku terus terjun di olahraga, kemungkinan aku dapat jadi PNS dan tidak terlalu banting tulang seperti ini. Tapi tidak perlu kusesali karena Allah pasti memberikan yang terbaik buatku. Aku terus berdoa dan pasrah kepadaNya.

Dari hasil perkawinanku, aku memiliki sepasang anak, Tiara dan Risky yang kini sudah duduk di bangku SD. Meski ada anak, tapi rumah tanggaku makin lama makin kurang harmonis. Suamiku yang suka mabuk dan pecandu narkoba membuatku makin terhimpit ekonomi. Aku terkadang bingung mau makan apa, ketika suami tak pernah memberikan uang karena habis untuk keperluannya sendiri. Suamiku tidak pernah berubah kendati sudah sering diingatkan. Di Banda Aceh, aku juga tak bisa apa-apa, tak ada kawan untuk tukar pikiran. Mau jahit, tak ada mesin jahit, mau terjun ke olahraga, orang sana tak ada yang kenal aku. Aku bingung sekali.

Tahun 2012, ibuku meninggal dunia dan aku kembali ke Medan dengan perasaan sedih karena aku tak bisa mengurusnya menjelang ajal. Di tahun itu juga aku minta cerai dengan suami karena kelakuannya tak bisa berubah, sedangkan aku dan dua anakku butuh kehidupan yang layak.

Tahun 2013, aku mencari peruntungan ke Jambi, di sana ada adik ibuku. Aku kerja apa saja yang penting halal, tapi hanya setahun dan kemudan balik lagi ke Medan. Tahun 2015, aku pisah dengan suami, aku di Medan dengan mengontrak rumah di Jalan Srikandi Medan Denai, sedangkan suami tetap di Banda Aceh. Kami hanya pisah begitu saja, belum berdasarkan Pengadilan Agama karena ketiadaan biaya untuk mengurusnya. Sejak pisah itu, suami tidak mau tahu dengan kehidupan kami, tidak pernah memberikan biaya apapun, apalalagi menelepon.

Untuk mencari nafkah, aku mendapat borongan jahit dari butik kenalanku, upahnya Rp800.000 sebulan, Waktu gadis, selain olahraga aku juga suka menjahit dan sering menerima borongan. Selain itu, lagi-lagi jiwa olahragaku tak pernah padam, aku kembali mendatangi teman-teman lamaku. Meski tak jadi PNS dari olahraga, tapi aku kembali terjun ke olahraga dengan harapan mana tahu ada peluang untuk mendapatkan dana. Kali ini aku terjun ke cabang gulat lagi, kebetulan abang sepupuku pemain gulat.

Namun atas pertimbangan KONI kategori gulat akupun dialihkan menjadi atlet judo wanita untuk ikut di Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) tahun 2016 di Bandung. Perpanas merupakan ajang olahraga nasional utama untuk penyandang disabilitas (cacat). Maaf, fisikku memang tak cacat.

Jadi pertandingan bagi atlet disabilitas itu, misalnya dari cacat mata ada yang tak nampak total, nampak dengan kacamata minus 3 dan kategori lainnya. Aku sendiri disandingkan dengan lawan yang cacat mata total, tidak nampak sama sekali. Jadi mataku pun ditutup rapat pakai kain hitam supaya tidak nampak juga. Saat itu aku dapat medali emas.

Kini aku juga sebagai pelatih gulat dan mengajar ekskul gulat di sekolah tiap Sabtu, lumayan dapat Rp400.000 sebulan. D gulat sering dipanggil jadi wasit, dapat honor terkadang Rp700.000 selama 2-3 hari. Pernah juga dapat Rp1,5 juta, tergantung lamanya. Kini aku serius latihan untuk persiapan Peparnas tahun 2020 di Papua dan setelah itu aku berhenti sebagai atlet, namun tetap sebagai pelatih.

Agaknya keberuntungan mulai menghampiriku. Aku jumpa teman baikku, Verawaty, yang bekerja menjadi driver Gojek.Vera sendiri sudah duluan ‘ngebeat’, istilah para driver kalau aktif mencari penumpang. Januari 2018 aku bergabung di Gojek dan kesibukanku bertambah banyak. Pagi-pagi sekali, sebelum azan subuh, aku sudah bangun, masak buat sarapan anak-anakku sebelum pergi ke sekolah dan bontot buatku sendiri. Sebelum jam 07.00 pagi, aku sudah mengantar anak-anak ke sekolah dan seterusnya ‘ngebeat’ di jalanan kota Medan.Paliing sering nongkrong di sekitar rumahku, Jalan AR Hakim, Asia Mega Mas, menunggu HP ku berbunyi. Siang kembali ke rumah, mengantar anak-anak mengaji, terus lanjut lagi ‘ngebeat’ sampa malam. Anakku paling besar kelas 6 SD dan kecil kelas 3 SD dibiasakan mandiri karena aku harus mendapat target game poin supaya dapat Rp126.000 per hari ditambah bonus lainnya, itupun kadang dimatikan dulu aplikasinya karena sambil melatih gulat. Kalau tidak melatih, mungkin bisa dapat poin lebih banyak.

Pernah aku mendapat penumpang sampai jam 12 malam, mudah-mudahan sampai saat ini belum ada gangguan. Semua pekerjaanku sekarang kunikmati demi biaya hidup dan biaya sekolah anak-anakku. Aku pose ‘ngebeat’ kalau keretaku rusak dan dalam seminggu ada kuluangkan waktu satu hari buat anak-anakku. Tapi dengan kegigihanku di jalanan, aku bisa hidup dan menyisihkan dana. Kelak impian punya usaha jahit, jualan gas dan air mineral bisa terwujud ketika aku tak sanggup lagi ‘ngebeat’ di jalanan.

Yosephine Natalitha Sembiring

Yosephine Natalitha Sembiring, SE,MSi

Kisah wanita yang satu ini bertolak belakang dengan kehidupan Melvi. Dia adalah Yosephine Natalitha Sembiring, SE,MSi, 38, kelahiran Kabanjahe 31 Desember 1981. Salah seorang pendiri aplikasi online “Pak Tani Digital” dengan alamat website: paktanidigital.com dan usaha “Sablon Medan” (www.sablonmedan.com).

Pak Tani Digital kini pengikutnya sudah mencapai lebih 32.000 orang, 40.000 download aplikasi dan 132.000 petani sudah terafiliasi di seluruh Indonesia, paling banyak Jawa.

“Terimakasih bu…,” kata seorang petani.

“Wow, ucapan dari petani yang tulus itu membuatku senang dan puas, melebihi dari segala-galanya,” kata Yosephine Natalitha Sembiring, Minggu (22/12/2019) di rumahnya, Jalan Bunga Cempak/Pasar III, Padang Bulan Medan.

Yosephine menyebut ide membuat startup “Pak Tani Digtal” berawal dari kehidupan petani yang terlanjur dicap miskin, guram dan banyak yang menjadi buruh tani. Penyebab utama rendahnya harga komoditi pertanian, fluktuasi harga yang berubah cepat, rendahnya posisi tawar petani, rendahnya suplier alsintan (alat-alat pertanian), minimnya permodalan dan akses informasi.

Sebagai seorang anak petani di Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Yosephine merasa terpanggil bagaimana kehidupan petani bisa bangkit dan produksinya memiliki posisi tawar yang tinggi. Ia bersama suaminya Mahendra Tlapta Sitepu, ST membuat aplikasi paktanidigital.com yang isinya tentang info teknologi pertanian terkini seperti langkah-langkah budidaya tanaman pangan dan hortikultura. Info lain tentang pupuk dan aplikasinya serta dimana produk itu dapat diperoleh. Pokoknya semua yang berkaitan dengan tanaman pangan dan hortikultura sampai pemasarannya ada di paktanidigital.com.

“Jadi Pak Tani Digital mendorong petani supaya sejahtera dan dapat bertemu dengan pembeli ,” terang Yosephine.

Untuk aplikasi itu, kini ia tidak bekerja berdua dengan suaminya saja, melainkan ada tim yang turun ke lapangan dan ada yang mengaksesnya ke website. Yosephine membangun tim sangat baik sehingga ia tidak perlu harus selalu terlibat di dalamnya. “Dari awal membangun tim work, jadi semua sudah memahami tugasnya masing-masing,” katanya.

Pilihan mengusung harkat petani, menurut Yosephine, karena dari kecil ia bercita-cita.menjadi petani yang modern dan sukses. Bukan terlalu muluk cita-cita itu karena semua orang bergantung kepada pangan sehingga komoditi pangan tetap diperlukan.

Waktu kecil ia melihat ayahnya almarhum Baskita Sembiring yang menjadi petani. Terkadang faktor cuaca membuat hasil panennya terganggu. Informasi tentang pertanian sangat minim sekali. “Untuk itulah saya membuat aplikasi Pak Tani Digital,” ujarnya.

Yosephine sendiri kesibukannya banyak sekali, sebagai dosen di dua universitas; Unversitas Methodist Medan (UMI) dan Universitas Pelita Harapan (UPH) Medan. Menjadi trainer women will dari Google, pembicara di gerakan nasional 1.000 startup ke beberapa daerah di Sumatera Utara, Jakarta bahkan sampai luar negeri seperti Istambul, Turki.

Ia juga masih mengurusi usaha “Sablon Medan” yang didirikannya pada tahun 2012 beralamat di Jalan Jamin Ginting nomor 247 Padang Bulan Medan. Sablon Medan berupa usaha konveksi kaos dari bahan baku sampai bahan jadi. Kini pegawainya sudah 30 orang. Produksinya mencapai 10.000 kaos per bulan, pembelinya tidak hanya dari Sumatera Utara, melainkan dari seluruh Indonesia. Pasalnya mereka bisa mengakses di www.sablonmedan .com.

“Kami juga memproduksi produk massal, distro dengan merk JCLO dan Tanna Kids. Jadi buat apa pesan kaos ke Jawa, sedangkan di Medan ada ,” katanya.

Dengan segudang kegiatannya itu, Yosephine mengaku tidak pernah kelelahan. Sebab sebagai pemimpin, kita harus melatih skill entrepreneurship dan harus bisa berkolaborasi dengan tim. Semua sudah ada tugasnya masing-masing dan kita tinggal mengontrol saja.

Dia sendiri merasa apa yang didapatnya selama ini sudah lebih dari cukup. Oleh karena itu, lapangan pekerjaan yang diberikannya kepada orang lain menjadi kepuasan tersendiri baginya. “Lewat pekerjaan itu, dapat memberikan manfaat bagi orang lain sudah merupakan kepuasan tersendiri bagi saya,” ungkapnya.

Meski sibuk, tapi Yosephine tetap punya waktu dengan keluarga. Dalam seminggu, ada waktu khusus buat keluarga. Ketiga anaknya masih kecil jadi butuh perhatian lebih, setiap hari mengajari belajar. Menyampulkan buku-buku mereka dan selalu berdoa. Sebagai anak tertua dari empat bersaudara, Yosephine juga membimbing adik-adiknya yang sekarang semua sarjana dan mendapat pekerjaan yang bagus.

Dia punya misi menjadi ibu yang berguna bagi keluarga dan lingkungan. “Apapun yang saya kerjakan memberikan dampak positip bagi orang lain,” katanya. (Laswiyati Wakid)